Titik sentral kehidupan adalah kata-kata. Sebab melalui kata, seseorang mampu mengekspresikan diri lewat berbagai bentuk protes, orasi, dan tuntutan. Kata merupakan buah pemikiran seseorang. Untuk menyampaikan isi pemikiran kepada khalayak ramai, tentunya kita membutuhkan simbolisasi lisan berupa kata-kata. Tujuannya agar pesan yang tersusun melalui alur pemikiran tersampaikan secara tajam dan akurat. Kita tentu setuju jika dikatakan bahwa kualitas kata-kata berpijak pada dimensi pemikiran (intelektualitas) seseorang. Jika pemikirannya kacau balau, maka kata-kata yang terucap pun tak beraturan. Dengan demikian, konsistensi pemikiran selayaknya menjadi pijakan utama dalam mengekspresikan kata-kata. Karena ia layaknya seorang nahkoda yang berusaha mengendalikan, mengarahkan dan mengatur laju kapal di lautan. Begitu juga dalam penyampaian pesan. Intelektualitas bakal mengarahkan dan mengatur kata-kata hingga tersampaikan pada orang lain secara sistematis dan logis.
Kata-kata adalah elan vital bagi pencerahan suatu bangsa. Kebebasan berpendapat, beropini dan menulis merupakan cermin dari mulai tercerahkannya suatu peradaban. Alangkah naifnya ketika zaman ini digiring ke "zaman pemberangusan" kata-kata, ketika kita tidak lagi bebas mengekspresikan opini dan curahan pendapat, tidak lagi mampu berkreasi lewat kata-kata dan bahkan tidak lagi menguasai kata-kata. Dengan kata lain, hidup dalam zaman "kebisuan" akan menggusur kita pada sikap masa bodoh, acuh tak acuh, dan tidak kritis terhadap kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya bangsa. Alhasil, muncul kemunduran atau bahkan kebusukan peradaban.
Mengapa demikian? karena peradaban Barat dan Timur pun merupakan buah hasil dari kata-kata. Ketika kata-kata tidak lagi menjadi sesuatu yang urgen karena telah diberangus, maka tak bisa dipungkiri lagi bahwa peradaban yang muncul adalah peradaban "membeo" saja. Sami'na wa ato'na (kami dengar dan kami taat) secara dangkal dipahami sebagai upaya pasif belaka yang kering dari daya upaya untuk memperbaharui dan mengubah, apalagi memprotes kebijakan-kebijakan yang dianggap sepihak.
Bukan hal mustahil ketika kata-kata sudah dimonopoli oleh salah satu pihak, disinyalir akan melahirkan otoriter bahasa. Menurut dia hanya kata-katanya yang benar, hanya kata-katanya yang ilmiah, hanya kata-katanya yang rasional, dan hanya kata-katanya yang mampu membawa umat ke surga. Dengan demikian, hegemoni kata-kata merupakan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri saat ini. Sebab, kondisi saat ini menggambarkan bahwa masyarakat telah terjebak pada penguasaan sepihak kata-kata, sehingga muncul berbagai arogansi.
Arogansi para petinggi negara yang kerjaannya hanya mengeluarkan kebijakan sepihak. Arogansi para pengusaha yang berusaha menguasai kekayaan bangsa. Dan tentunya arogansi bangsa yang menafsirkan kata-kata orang lain dengan sudut pandang nafsu pribadi. Bahkan arogansi para pejabat negara yang maunya naik gaji terus.
Animo masyarakat terhadap pengungkapan kata-kata mutlak diperlukan. Kalau tidak ada, zaman ini kita namai saja "zaman pemakaman". Banyak orangnya tetapi tidak bisa berbuat apa-apa ketika kesetimpangan merajalela, ketidakadilan mendunia, kebiadaban meracuni massa, dan kemaksiatan sudah menjadi harga mati. Untuk mengubah kondisi ini hingga bisa meraih pencerahan peradaban, tentunya memerlukan peran serta pengolahan kata-kata sesistematis mungkin.
Melalui tulisan kita beropini, melalui mimbar kita menyampaikan nilai-nilai universal, dan melalui media elektronik kita bangun imej positf budaya bangsa. Apalagi di era yang serba canggih ini, segala luapan ekspresi pemikiran yang tercermin dalam kata, mampu menyedot respons masyarakat guna memunculkan kesadaran kolektif.
Apalagi semenjak era reformasi bergulir, tugas kita adalah memanfaatkan pembukaan keran kebebasan dengan mengekspresikan kata-kata secara apa adanya. Tanpa dibarengi dengan topeng kepura-puraan, kemunafikan dan segala bentuk penipuan. Bebas dari kepentingan pribadi dan hawa nafsu keserakahan. JIka saja kata-kata sudah dimanipulasi sedemikian rupa, maka janji-janji palsu pun bakal mengalir dari mulut para manipulator melalui berbagai orasi.
Janganlah heran jika kata-kata hanya didengar dan dipercaya ketika dikumandangkan oleh seorang yang kuat. Kuat segala-galanya. Kuat duitnya, kuat birokratnya, juga orang-orang di belakangnya. Dengan kondisi demikian, maka tak salah jika ada segelintir orang yang ingin membangun imej positif di mata masyarakat dengan menggandeng orang yang kuat segala-galanya. Pengusaha menjabat struktur pemerintahan, orang kaya mendominasi suara dukungan rakyat, bahkan orang jujur yang melarat terbengkalai dari percaturan politik. Semua ini berawal dari kata-kata.
Kalau tak percaya coba saja seorang tukang becak kita calonkan menjadi kepala daerah. Apa yang terjadi, bisa dipastikan suaranya tidak akan memenuhi kuota suara satu persen pun. Karena, di era yang serba materialis ini, suara orang yang tak berduit tentunya hanya tong kosong nyaring bunyinya saja. Ketika mendengarkannya, muncul berbagai sikap pengacuhan terhadap kata-kata yang dibahasakan lewat "suara"-nya.
Gejala ini, seolah menunjukkan bahwa kata-kata telah dimonopoli oleh kalangan tertentu yang punya ambisi dan kepentingan pribadi. Alhasil, ketika mencalonkan diri untuk menjadi seorang pemimpin, tentunya selain harus pandai merangkai kata, harus memiliki uang untuk menyumpal mulut para pendukung. Agar, kebisuan mereka tertutupi oleh diam seribu bahasa, sebagai tanda dukungan penuh.
Kesimpulannya, hegemoni kata-kata bisa berperan penting dalam arena kehidupan. Ketika ingin mulus jalan menuju kursi kepemimpinan, sewalah para manipulator kata-kata. Ketika ingin suaranya didengar, maka kuasailah kata-kata dengan nafsu pribadi. Tetapi, hemat penulis, keadiluhungan kata-kata disinyalir mampu meredam berbagai praktik pembelian dan penjualan suara rakyat oleh segelintir orang yang manipulatif dan hegemonik tentunya.
2 komentar:
hauhwfff...mr.pimred
aroma judulnya majalah sekali;)
yes, i agree with you
dan sepertinya neo neokolonialisme mulai berjalan di negeri ini
kata-kata pun punya kelas dan tarif. Sekali pun ada undang-undang yang mengatur kebebasan berpendapat, tapi tak ada yang bisa membendung arus kapitalisme
kenapa ya, aku baca tulisan kamu yang ini, agak membingungke, maksudnya, penjelasan kamu tentang hegemoni kata2 bisa melebar kemana, ke hal2 yang aku kira kurang berhubungan langsung dengan hal itu
tai aku suka tulisan kamu deh, mungkin karena bisa berpikir lama di depan internet yanggratisan gitu, jadinya tulisane bisa lebih terarah dengan baik, enggak terburu2 seperti aku, hehehe
Posting Komentar