Minggu, 25 Mei 2008

YOUTH SPIRIT (Semangat Pemuda)

Merujuk pada kamus pembebasan, revolusi didefinisikan menjadi dua pengertian yang saling berkitan. Pertama, revolusi adalah ledakan politik mengulingkan atau mengambil alih kekuasan yang berdiri diatas system tertentu, kedua, revolusi adalah aktivitas yang diarahkan pada perubahan mendasar dalam hal struktur atau formasi dalam bidang social, politik,ekonomi, maupun budaya. Jika kita merunut sejumlah teori yang membahas perihal revolusi, paling tidak aa tiga pendekatan yang menonjol, pertama, teori agregat psikologis yang berupaya menjelaskan revolusi melalui konsep motivasi psikologis rakyat untuk melibatakan diri ke dalam kekerasan politik atau untuk bergabung dalam gerakan oposisi. Kedua,asalah teori konsesus system atau nilai yang berupaya menjelaskan revolusi sebagai sebagai respon kekerasan dari gerakan ideologis terhadap ketimpanagan yang hebat dalam system social. Teori yang ketiga dinama teori teori konflik politik, yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah dengan berbagai yang terorganisir dalam perebutan kekuasaan haruslah menjadi pusat perhatian dalam setiap upaya untuk menjelaskan kekerasan social.

Pemuda merupakan organ paling penting dalam sebuah Negara. Titik tolak kemajuan Negara dan kemundurannya dapat diukur salah satunya dengan indicator peran pemuda. Seperti yang diungkapan Hegel, salah seorang tokoh filsafat. Dia mengungkapkan teori tentang semangat zaman yang tak terbatas oleh waktu. Di dalamnya menyangkut elemen semangat pemuda yang sangat dibutuhkan untu membangun sebuah bangsa. Semangat pemuda ini tiada akan tergerus oleh zaman dan akan selalu menjadi bagian dari revolusi Negara.

Menilik pada semangat pemuda yang merupakan bagian penting dalam sebuah revolusi, pembahasannya tidak akan lepas dari peran sebuah Negara. Pengaruh perubahan politik, social, ekonomi dan budaya Negara akan menyebabkan perubahan semangat pemuda. Kecenderungan yang terjadi di dunia saat ini, terkhusus di Indonesia perubahan politik, social, ekonomi maupun budaya lebiah kearah kemerosotan akibat factor dari dalam (pemerintah) maupun luar (dalam hal ini adalah pengaruh budaya luar). Pengaruh dari dalam maupun dari luar tersebut sangat mempengaruhi pemuda dan kecendrungannya pemuda kita telah mengalami cultural movement. Saat ini terjadi peregeseran-pergeseran nilai kepemudan sendiri yang berubah dalam kemrosotan moral maupun perilaku. Pemuda Indonesia saat ini telah masuk kedalam budaya konsumerisme, hedonis dan kurang peka dengan apa yang terjadi di masyarakat. Ini sangat berbeda dengan zaman orde lama, orde baru, dan menjelang reformasi dimana semangat pemuda masih bergejolak dan kritis. Di masa itu pemuda merupakan agen perubahan yang sesungguhnya, maksudnya pemuda benar-benar mengerti perannya dalam sebuah bangsa dan selalu menjadi oposisi dari pemerintah dalam berbagi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Menyikapi Cultural Movement, para pemuda biasanya membuat berbagi macam kegiatan yang terlihat dalam bentuk komunitas-komunitas tertentu. Tujuan dan bentuk komunitas-komunitas itu berbeda dilihat dari latar belakang terbentuknya, ada yang terbentuk atas dasar social, budaya, ekonomi, pendidikan bahkan politik. Komunitas-komunitas itu merupakan respon yang terjadi akubat dari perubahan yang disebabakan oleh Negara, dan kecenderungannya Negara kita berubah menuju kearah “tenggelam”.

Sabtu, 24 Mei 2008

Bahasa Politik yang Hegemonik

Titik sentral kehidupan adalah kata-kata. Sebab melalui kata, seseorang mampu mengekspresikan diri lewat berbagai bentuk protes, orasi, dan tuntutan. Kata merupakan buah pemikiran seseorang. Untuk menyampaikan isi pemikiran kepada khalayak ramai, tentunya kita membutuhkan simbolisasi lisan berupa kata-kata. Tujuannya agar pesan yang tersusun melalui alur pemikiran tersampaikan secara tajam dan akurat. Kita tentu setuju jika dikatakan bahwa kualitas kata-kata berpijak pada dimensi pemikiran (intelektualitas) seseorang. Jika pemikirannya kacau balau, maka kata-kata yang terucap pun tak beraturan. Dengan demikian, konsistensi pemikiran selayaknya menjadi pijakan utama dalam mengekspresikan kata-kata. Karena ia layaknya seorang nahkoda yang berusaha mengendalikan, mengarahkan dan mengatur laju kapal di lautan. Begitu juga dalam penyampaian pesan. Intelektualitas bakal mengarahkan dan mengatur kata-kata hingga tersampaikan pada orang lain secara sistematis dan logis.

Kata-kata adalah elan vital bagi pencerahan suatu bangsa. Kebebasan berpendapat, beropini dan menulis merupakan cermin dari mulai tercerahkannya suatu peradaban. Alangkah naifnya ketika zaman ini digiring ke "zaman pemberangusan" kata-kata, ketika kita tidak lagi bebas mengekspresikan opini dan curahan pendapat, tidak lagi mampu berkreasi lewat kata-kata dan bahkan tidak lagi menguasai kata-kata. Dengan kata lain, hidup dalam zaman "kebisuan" akan menggusur kita pada sikap masa bodoh, acuh tak acuh, dan tidak kritis terhadap kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya bangsa. Alhasil, muncul kemunduran atau bahkan kebusukan peradaban.

Mengapa demikian? karena peradaban Barat dan Timur pun merupakan buah hasil dari kata-kata. Ketika kata-kata tidak lagi menjadi sesuatu yang urgen karena telah diberangus, maka tak bisa dipungkiri lagi bahwa peradaban yang muncul adalah peradaban "membeo" saja. Sami'na wa ato'na (kami dengar dan kami taat) secara dangkal dipahami sebagai upaya pasif belaka yang kering dari daya upaya untuk memperbaharui dan mengubah, apalagi memprotes kebijakan-kebijakan yang dianggap sepihak.

Bukan hal mustahil ketika kata-kata sudah dimonopoli oleh salah satu pihak, disinyalir akan melahirkan otoriter bahasa. Menurut dia hanya kata-katanya yang benar, hanya kata-katanya yang ilmiah, hanya kata-katanya yang rasional, dan hanya kata-katanya yang mampu membawa umat ke surga. Dengan demikian, hegemoni kata-kata merupakan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri saat ini. Sebab, kondisi saat ini menggambarkan bahwa masyarakat telah terjebak pada penguasaan sepihak kata-kata, sehingga muncul berbagai arogansi.

Arogansi para petinggi negara yang kerjaannya hanya mengeluarkan kebijakan sepihak. Arogansi para pengusaha yang berusaha menguasai kekayaan bangsa. Dan tentunya arogansi bangsa yang menafsirkan kata-kata orang lain dengan sudut pandang nafsu pribadi. Bahkan arogansi para pejabat negara yang maunya naik gaji terus.

Animo masyarakat terhadap pengungkapan kata-kata mutlak diperlukan. Kalau tidak ada, zaman ini kita namai saja "zaman pemakaman". Banyak orangnya tetapi tidak bisa berbuat apa-apa ketika kesetimpangan merajalela, ketidakadilan mendunia, kebiadaban meracuni massa, dan kemaksiatan sudah menjadi harga mati. Untuk mengubah kondisi ini hingga bisa meraih pencerahan peradaban, tentunya memerlukan peran serta pengolahan kata-kata sesistematis mungkin.

Melalui tulisan kita beropini, melalui mimbar kita menyampaikan nilai-nilai universal, dan melalui media elektronik kita bangun imej positf budaya bangsa. Apalagi di era yang serba canggih ini, segala luapan ekspresi pemikiran yang tercermin dalam kata, mampu menyedot respons masyarakat guna memunculkan kesadaran kolektif.

Apalagi semenjak era reformasi bergulir, tugas kita adalah memanfaatkan pembukaan keran kebebasan dengan mengekspresikan kata-kata secara apa adanya. Tanpa dibarengi dengan topeng kepura-puraan, kemunafikan dan segala bentuk penipuan. Bebas dari kepentingan pribadi dan hawa nafsu keserakahan. JIka saja kata-kata sudah dimanipulasi sedemikian rupa, maka janji-janji palsu pun bakal mengalir dari mulut para manipulator melalui berbagai orasi.

Janganlah heran jika kata-kata hanya didengar dan dipercaya ketika dikumandangkan oleh seorang yang kuat. Kuat segala-galanya. Kuat duitnya, kuat birokratnya, juga orang-orang di belakangnya. Dengan kondisi demikian, maka tak salah jika ada segelintir orang yang ingin membangun imej positif di mata masyarakat dengan menggandeng orang yang kuat segala-galanya. Pengusaha menjabat struktur pemerintahan, orang kaya mendominasi suara dukungan rakyat, bahkan orang jujur yang melarat terbengkalai dari percaturan politik. Semua ini berawal dari kata-kata.

Kalau tak percaya coba saja seorang tukang becak kita calonkan menjadi kepala daerah. Apa yang terjadi, bisa dipastikan suaranya tidak akan memenuhi kuota suara satu persen pun. Karena, di era yang serba materialis ini, suara orang yang tak berduit tentunya hanya tong kosong nyaring bunyinya saja. Ketika mendengarkannya, muncul berbagai sikap pengacuhan terhadap kata-kata yang dibahasakan lewat "suara"-nya.

Gejala ini, seolah menunjukkan bahwa kata-kata telah dimonopoli oleh kalangan tertentu yang punya ambisi dan kepentingan pribadi. Alhasil, ketika mencalonkan diri untuk menjadi seorang pemimpin, tentunya selain harus pandai merangkai kata, harus memiliki uang untuk menyumpal mulut para pendukung. Agar, kebisuan mereka tertutupi oleh diam seribu bahasa, sebagai tanda dukungan penuh.

Kesimpulannya, hegemoni kata-kata bisa berperan penting dalam arena kehidupan. Ketika ingin mulus jalan menuju kursi kepemimpinan, sewalah para manipulator kata-kata. Ketika ingin suaranya didengar, maka kuasailah kata-kata dengan nafsu pribadi. Tetapi, hemat penulis, keadiluhungan kata-kata disinyalir mampu meredam berbagai praktik pembelian dan penjualan suara rakyat oleh segelintir orang yang manipulatif dan hegemonik tentunya.

Senin, 05 Mei 2008

INDIS ARSITEKTUR ONLY MEMORY

SEBUTAN Indis berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam bahasa Indonesia. Itulah nama suatu daerah jajahan Pemerintah Belanda di Timur Jauh, dan karena itu sering disebut juga Nederlandsch Oost Indie.Menurut Pigeaud, orang Belanda pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1619. Mereka semula berdagang tetapi kemudian memonopoli lewat VOC dan akhirnya menjadi penguasa sampai datangnya Jepang pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang Belanda selama tiga abad di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala macam aspek kehidupan. Perubahan antara lain juga melanda seni bangunan atau arsitektur.

Menurut Lombard pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.

Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.

Penggunaan kata Indis untuk gaya bangunan seiring dengan semakin populernya istilah Indis pada berbagai macam institusi seperti Partai Indische Bond atau Indische Veeneging. Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan budaya Indonesia khususnya dari Jawa.

Dari segi politis, pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk membedakan dengan bangunan tradisional yang lebih dahulu telah eksis, bahkan oleh Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran penguasa saat itu.

Sebelum kedatangan Belanda, sebenarnya sudah banyak bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu datang ke Indonesia antara lain dari Cina, India, Vietnam, Arab, dan Portugis, yang memberi pengaruh pada budaya asli. Karena itu, dalam bangunan Indis juga terkandung berbagai macam unsur budaya tersebut. Faktor-faktor lain yang ikut berintegrasi dalam proses perancangan antara lain faktor lingkungan, iklim atau cuaca, tersedia material, teknik pembuatan, kondisi sosial politik, ekonomi, kesenian, dan agama.

Bentuk rumah bergaya Indis sepintas tampak seperti bangunan tradisional dengan atap berbentuk Joglo Limasan. Bagian depan berupa selasar terbuka sebagai tempat untuk penerimaan tamu. Kamar tidur terletak pada bagian tengah, di sisi kiri dan kanan, sedang ruang yang terapit difungsikan untuk ruang makan atau perjamuan makan malam. Bagian belakang terbuka untuk minum teh pada sore hari sambil membaca buku dan mendengarkan radio, merangkap sebagai ruang dansa.

Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampu-lampu gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk gedung-gedung perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain agar tampak lebih berwibawa.

Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup yang serbamewah.

Kebudayaan Indis sebagai perpaduan budaya Belanda dan Jawa juga terjalin dalam berbagai aspek misalnya dalam pola tingkah laku, cara berpakaian, sopan santun dalam pergaulan, cara makan, cara berbahasa, penataan ruang, dan gaya hidup. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung.

Mengamati arsitektur Indis hendaknya kita jangan terpaku pada keindahan bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische Spiegel yaitu pencerminan budaya Indis, menyebutkan bahwa sistem pergaulan dan tentunya juga kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indis merupakan jalinan pertukaran norma budaya Jawa dengan Belanda. Manusia Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya.

Pengukuhan kekuasaan kolonial saat itu tertuang dalam kebijakan yang dinamakan “politik etis”. Prinsipnya bertujuan meningkatkan kondisi kehidupan penduduk pribumi. Di lain fihak penguasa juga memperbesar jumlah kedatangan orang Belanda ke Indonesia yang secara langsung membutuhkan sarana tempat tinggal berupa rumah-rumah dinas dan gedung-gedung.

Di sini terlihat jelas bahwa ternyata semua peristiwa yang dialami pada tiap kehidupan manusia bisa memberi dampak yang besar terhadap pandangan arsitektur. Bahwa gagasan arsitektur sesungguhnya juga dipengaruhi oleh situasi dinamika sosial budaya manusia dan sekaligus menjadi bagian dari padanya.

Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya. Perkembangan arsitektur Indis sangat determinan karena didukung oleh peraturan-peraturan dan menjadi keharusan yang harus ditaati oleh para ambtenar, penentu kebijaksanaan. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para penguasa dan priayi.

Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata tetapi juga mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya arsitektur Indis mungkin disebabkan oleh konsekuensi historis yang menyangkut berbagai aspek sosial budaya.

Menurut Denys Lombard, sejarah terbentuknya budaya Indis karena didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang berkehendak menjalankan pemerintahan dengan menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di wilayah kolonialnya. Dengan datangnya perubahan zaman dan hapusnya kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan budaya feodal termasuk perkembangan arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan, bangsa Indonesia menganggap arsitektur Indis sebagai monumen dan simbol budaya priayi yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya tidak perlu diratapi.

Arsitektur Indis mencapai puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring dengan perkembangan kota yang modern, lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan berubah menjadi bangunan-bangunan baru (nieuwe bouwen) yang bergaya art-deco sebagai gaya internasional.

Bang Namin (83) bekas sopir Eykman kontrolir di Batavia berkata sambil menunjuk: “Di sini dulu ada gedung megah namanya “Sositet Harmoni” tempat dansa orang-orang Belanda, sekarang digusur untuk taman. Di sono tuh! di Molenvlit ada hotel mewah Des Indes yang juga digusur untuk pertokoan dan masih banyak lagi gedung-gedung bekas orang-orang Belanda yang megah di Mester Kornelis, Weltevreden, Pejambon, Petojo, dan lain-lain, juga sudah pada digusur.” Sekarang arsitektur gaya Indis hanya tinggal kenangan.

GW........SEDIH BANGET NULIS INI

Kamis, 01 Mei 2008

Demokrasi dan Peran Cendekia

    KALANGAN cendekiawan merupakan kelompok sosial otonom dan independen. Atau tiap kelompok sosial sebenarnya memiliki kalangan cerdik pandai yang khas bagi mereka? Pertanyaan awal yang diajukan Antonio Gramsci (1891-1937) dalam Catatan dari Penjara (Quaderni del Carcere, 12) relevan untuk disimak saat momentum kenaikan harga BBM membawa polemik tentang status dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat demokratis yang selama ini jarang mendapat perhatian.
Peran utama cendekiawan tradisional dalam masyarakat, lanjut Gramsci, guna menghasilkan konsensus. Karena itu, pekerjaan kaum cerdik pandai lebih pada jalur pengembangan masyarakat sipil (civil society), bukan lingkup politik (political society). Namun, ini bukan alasan untuk menyatakan kinerja mereka tidak memiliki muatan politis.
Polemik tentang status cendekiawan yang dipicu tayangan iklan Freedom Institute hanya satu contoh paling transparan guna mempertanyakan kehadiran para intelektual dalam masyarakat kita. Benarkah intelektual dari sono-nya dianugerahi kebebasan dan otonomi dalam menyuarakan pendapatnya sehingga dengan dalih otonomi, kebebasan, dan demokrasi mereka bisa merasa steril dan cuek bebek dengan jeritan massa karena melambungnya harga-harga?
Ponsiuspilatisme
Membongkar otonomi palsu kalangan intelektual merupakan kritik keras Gramsci atas filsafat Benedetto Croce (Q 10). "Apa yang penting bagi Croce adalah bahwa kalangan cendekiawan tidak merendahkan dirinya pada tingkatan massa, sebaliknya supaya mereka memahami bahwa ideologi merupakan perangkat praktis untuk memerintah..."
Bagi Croce, kalangan intelektual yang merendahkan dirinya pada kepentingan massa telah menggadaikan status dan kehormatannya sebagai kalangan cendekiawan. Para cendekiawan seharusnya memerintah, bukan diperintah. Mereka seharusnya membentuk ideologi dengan tujuan untuk memerintah yang lain.
Gramsci melihat, intelektual yang steril dari massa dan lebih mengedepankan kerja ideologis berpotensi melahirkan kekerasan dan mendiseminasi otonomi palsu yang cenderung jauh dari moralitas. "Posisi murni intelektual dapat menjadi Jacobinismo yang lebih buruk, atau suatu ponsiuspilatisme busuk, atau kadang berurutan dari satu posisi ke posisi lain, atau bisa secara simultan keduanya" (Q 10).
Sama seperti Ponsius Pilatus yang membiarkan Yesus disalib oleh keputusan massa, cendekiawan yang berpegang pada posisi "murni intelektual" merasa enggan memikul setiap tanggung jawab dan tidak ingin merendahkan dirinya pada kehendak dan keinginan massa. Pernyataan mereka yang menyatakan diri lepas dari kepentingan politis hanya sebuah posisi; dalam kenyataan, mereka memainkan peran fundamental secara politis sebab dengan bersikap seolah netral mereka telah membuat konsensus politik.
Ponsiuspilatisme yang lihai memainkan peran di panggung media menemukan antagonisnya dalam diri intelektual jalanan yang berusaha menyalurkan dan menjadi aspirasi orang kebanyakan (demos). Namun, cendekiawan jalanan seperti ini tak jarang mendapat kritik keras karena mereka cenderung antiintelektual. Mereka lebih menyukai ritualisme politik kiri, seperti demonstrasi, membuat pernyataan, tuntutan dan sebagainya.
Dalam masyarakat demokratis, kecenderungan antiintelektual akan menjadi racun yang mematikan bagi regenerasi iklim demokrasi yang lebih baik. Di mana pun, demokrasi yang dewasa tak pernah bermula dari jalanan. Demokrasi yang dewasa mengandaikan kedewasaan politik dan kedewasaan politik mengandaikan formasi memadai bagi politisi untuk menyampaikan visi perjuangannya di parlemen.
Tiga makna
Fenomena ponsiuspilatisme dan kehadiran cendekiawan jalanan bisa dibaca dari tiga sudut pandang.
Pertama, pendidikan tinggi kita gagal menanamkan nilai- nilai demokratis dalam diri para cendekiawannya. Di kalangan kampus terjadi semacam pembangkangan dosen atas panggilan intektualnya. Mereka gagal menanamkan semangat humanisme universal dalam diri mahasiswa sehingga menghasilkan cendekiawan yang "murni intelektual".
Kedua, di lain pihak pendidikan tinggi ternyata juga menghasilkan lulusan yang antiintelektual, lebih suka memilih cara-cara jalanan, dengan memasang pamflet, membuat orasi, dan membaur dengan massa di luar kampus untuk menyuarakan kepentingan.
Akar masalah dua hal itu adalah korupsi di kampus. Karena itu, penyehatan kehidupan berbangsa hanya bisa dilakukan dengan membenahi sektor pendidikan berupa perbaikan model pengajaran dan kurikulum yang lebih menekankan akuisisi modal kultural (capital cultural) sehingga memungkinkan lulusan terlibat kehidupan demokrasi yang lebih sehat.
Pendekatan konservatif yang hanya melihat korupsi di kampus, pengkhianatan intelektual atas status sosialnya, dan kecenderungan antiintelektual yang bersemi di kampus sebagai biang keladi tak kunjung berseminya kedewasaan demokrasi menjadi satu kemendesakan untuk memulai pembaharuan di kampus, misalnya, melalui reformasi di bidang kurikulum maupun metode pengajaran.
Ketiga, diagnosis ketidakberesan yang terjadi seputar kinerja kampus hanya akan merupakan tambal sulam yang tidak menyentuh esensi persoalan tanpa memerhatikan analisis relasional antara demokrasi dalam kaitan dengan keberfungsian peranan intelektual.
Analisis terakhir menyatakan, pertama-tama bukan pendidikan tinggi yang telah gagal menciptakan kedewasaan demokrasi bagi para cendekiawan. Sebaliknya, demokrasi gagal menciptakan pendidikan tinggi yang bermutu dengan menyelingkuhi para cendekiawannya sehingga melahirkan intelektual haram yang memiliki semangat ponsiuspilatisme atau sebaliknya melahirkan intelektual jalanan yang cenderung antiintelektual, yang keduanya sama-sama jauh dari klaim "integritas moral intelektual" maupun "keberpihakan rasional pada massa" yang amat dibutuhkan dalam proses konsolidasi demokrasi.
Gejala ponsiuspilatisme secara positif bisa dibaca sebagai tumbuhnya kesadaran pentingnya kekuatan moral kalangan intelektual untuk mengkritisi kebijakan publik dalam kerangka perlindungan hak warga negara dari terabasan petualang politik. Di lain pihak kehadiran intelektual jalanan dalam kacamata gramscian bisa dibaca sebagai suatu usaha diseminasi konsensus bagi perjuangan kontra hegemoni atas kekuasaan yang ada, sekaligus konsolidasi kekuatan subaltern dalam kerangka pertumbuhan demokrasi yang sehat.
Kelompok sosial korban keputusan poltik penguasa kian menyadari, kekuasaan permanen dan kebenaran universal yang menjadi basis kekuatan hegemoni kelompok penguasa telah kehilangan otoritasnya. Setiap kelas sosial dan kelompok masyarakat lain berhak memiliki konsepsi berbeda tentang keteraturan sosial yang menjadi suara hati, pikiran dan gagasan mereka.
Konsolidasi perjuangan kelas subaltern kian nyata saat mereka akhirnya berhasil melahirkan intelektualnya sendiri. "Ke-lain-an" (otherness) yang terlahir dari kelompok subaltern miliki hak untuk didengarkan jika kita mengaku diri sebagai demokratis.
Pendidikan dasar
Jika demokrasi gagal menciptakan iklim akademis yang melahirkan cendekiawan berintegritas, konsolidasi demokrasi sendiri hanya bisa tumbuh lewat kesadaran kritis yang muncul lewat kekokohan formasi pendidikan yang terbuka bagi semua warga yang memungkinkan sipil memiliki kekuatan mengontrol kekuasaan. Langkah awal formasi ini adalah dijaminnya pendidikan dasar bagi semua. Di sini yang dipertaruhkan adalah kualitas dan kontinuitas formasi pendidikan yang mampu menyiapkan anak didik terlibat dalam ranah politik.
Gramsci meyakini, krisis lembaga pendidikan yang terjadi di zamannya terjadi bukan karena kelemahan lembaga pendidikan sendiri dalam mengantisipasi tantangan modern, tetapi karena lembaga pendidikan telah menjadi korban bulan-bulanan krisis sosial, budaya, dan politik di zamannya. Kita ingat bagaimana lembaga pendidikan di Italia, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi benar-benar dimanfaatkan untuk sarana propaganda ideologis perjuangan Fasis Mussolini.
Tidak diragukan, pendidikan umum dan keadaan sekolah di negeri kian memasuki titik kritis yang mengkhawatirkan. Ini terjadi karena ketidakbecusan politisi mengurus lembaga pendidikan. Korupsi terjadi bukan semata-hanya di kampus, tetapi di kalangan parlemen.
Berjuang secara sistematis agar terbuka akses pendidikan dasar bagi semua warga, itulah yang sejak awal digagas kalangan intelektual mengapa mereka mendesak agar subsidi BBM segera dicabut. Sebab hanya dengan realisasi akses pendidikan dasar bagi semua kompensasi BBM menjadi efektif.
Memimpikan kehadiran intelektual yang independen dan otonom di masa sekarang adalah ilusi. Namun, perjuangan membuka akses pendidikan bagi semua warga tak pernah boleh menjadi mimpi jika kita menginginkan perbaikan demokrasi di negeri ini.

ditulis oleh mahasuswa yang akan menghadapi pertarungan dengan dosen