Minggu, 27 September 2009

Jangan Salahkan Kalau Kami ke Jakarta..

Jangan salahkan kalau Kami ke Jakarta, bukan karena kami bosan hidup di desa, Bukan karena kami malas bekerja di desa, bukan karena kami tergiur oleh gemerlapnya Jakarta, bukan karena kami gila harta dan bermimpi menjadi orang kaya raya, bukan… Tapi karena demikianlah keadaannya, kami bosan dengan kehidupan kami yang tak kunjung membaik sekeras apapun kami berusaha, karena tak ada lagi yang bisa kami harapkan di desa, karena hanya itulah pilihan yang ada….

Ladang sepetak saja, itupun milik orang tua. Ironisnya kami selalu tidak punya cukup uang untuk menggarapnya! Benih mahal, pupuk mahal, dan untuk mendapatkannya-pun mau tak mau kami harus behutang pula. Saat panen tiba, hasilnya hanya cukup untuk menutup hutang saja hampir tak bersisa Kami tidak pernah menghitung biaya tenaga kerja, yang penting masih ada sisa yang bisa kami makan, itu saja. Itupun kalau berhasil panen raya, kalau tidak?.
Tak punya kami tabungan, simpanan untuk biaya kesehatan, pendidikan, atau kalau orang-orang kaya bilang “biaya tak terduga”. Apalah itu maksudnya? Untuk makan saja kami seadanya…

Jangan pandang kami sebelah mata, kami juga rakyat Indonesia, kami juga membayar pajak tiap tahunnya, walaupun kehidupan kami apa adanya, walaupun kami tak kunjung sejahtera, walaupun kami tidak tau pasti untuk apa sebenarnya pajak itu ada karena jalan raya desa kami dari dulu sampai sekarang-pun masih sama buruk kondisinya...

Kami tidak menuntut pada siapa-siapa, Pemerintah? Ah lupakan saja. apa yang bisa kami harapkan dari orang-orang disana? Paling-paling hanya janji-janji belaka tanpa realisasi jua. Kami sudah bosan, muak dengan itu semua!
Banyak orang-orang pintar di tivi yang berkata, bahwa kami hanya mengejar mimpi semu belaka, bahwa di Jakarta tidak akan lebih baik keadaannya.
Ah… mungkin itu ada benarnya, tapi apakah mereka tau ke adaan kami di desa? Enak saja mereka berbicara seolah-olah mengerti keadaan kami saja! Memangnya kami mau ke Jakarta kalau tidak karena terpaksa?
Ada juga yang bersimpati, beropini dan member solusi. Yah…tapi hanya di tivi, kami tetap saja harus berjuang sendiri…

Kalau bisa memilih, kami lebih senang tinggal di desa bersama keluarga. Tapi haruskah kami bertahan di desa pasrah dengan keadaan kami saja sambil mengharapkan pertolongan datang menyapa? Pilihan memang bukan untuk orang-orang seperti kami! Kami sudah cukup bersabar, kami sudah cukup bekerja keras dan kami sudah cukup bersyukur atas kasih sayang Tuhan bagaimanapun keadaan kami. Dan karenanya kami tidak bisa selamanya diam dan hanya menerima keadaan kami bukan?.

Mungkin ini adalah pilihan yang harus kami jalani, kami tau disana akan sangat berat, keras, dan siap melibas siapa saja. Kami tau banyak yang hanya jadi pengemis dan gelandangan disana, kami tau bayak yang hanya tinggal di pinggir-pinggir kali dan kolong jembatan saja, kami tau ada banyak saudara kami dari daerah lain yang juga berbondong-bondong mengadu nasib disana, kami tau itu semua. Tapi apalah artinya itu semua, bukankah itulah realitas hidup yang ada? Suatu perjalanan, suatau pertempuran, suatu pertaruhan? Ada yang kalah ada yang menang, ada yang mati ada yang tegak berdiri. Siapa yang tau apa yang akan terjadi? Toh kami sudah terbiasa dengan hidup yang begitu kerasnya ini. Siapa tau kamilah pemenangnya nanti...

Kami tau kami tidak punya bekal keterampilan apa-apa, dan kami juga tau kami tidak tau apa yang akan terjadi setibanya disana. Kami tau kami buta Jakarta. Yang kami tau kami harus berusaha, berusaha untuk merubah keadaan yang ada. Yang kami tau kami harus berjuang. Berjuang untuk kehidupan yang lebih baik, bukan untuk diri kami sendiri, tapi untuk bapak ibu kami, untuk adik-adik kami, untuk keluarga kami! Sendiri!
Yang kami tau, bahwa setidaknya disana kami punya harapan! Harapan untuk kehidupan yang lebih baik, itu saja…

Jangan salahkan kalau kami ke Jakarta…