Senin, 05 Mei 2008

INDIS ARSITEKTUR ONLY MEMORY

SEBUTAN Indis berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam bahasa Indonesia. Itulah nama suatu daerah jajahan Pemerintah Belanda di Timur Jauh, dan karena itu sering disebut juga Nederlandsch Oost Indie.Menurut Pigeaud, orang Belanda pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1619. Mereka semula berdagang tetapi kemudian memonopoli lewat VOC dan akhirnya menjadi penguasa sampai datangnya Jepang pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang Belanda selama tiga abad di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala macam aspek kehidupan. Perubahan antara lain juga melanda seni bangunan atau arsitektur.

Menurut Lombard pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.

Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.

Penggunaan kata Indis untuk gaya bangunan seiring dengan semakin populernya istilah Indis pada berbagai macam institusi seperti Partai Indische Bond atau Indische Veeneging. Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan budaya Indonesia khususnya dari Jawa.

Dari segi politis, pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk membedakan dengan bangunan tradisional yang lebih dahulu telah eksis, bahkan oleh Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran penguasa saat itu.

Sebelum kedatangan Belanda, sebenarnya sudah banyak bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu datang ke Indonesia antara lain dari Cina, India, Vietnam, Arab, dan Portugis, yang memberi pengaruh pada budaya asli. Karena itu, dalam bangunan Indis juga terkandung berbagai macam unsur budaya tersebut. Faktor-faktor lain yang ikut berintegrasi dalam proses perancangan antara lain faktor lingkungan, iklim atau cuaca, tersedia material, teknik pembuatan, kondisi sosial politik, ekonomi, kesenian, dan agama.

Bentuk rumah bergaya Indis sepintas tampak seperti bangunan tradisional dengan atap berbentuk Joglo Limasan. Bagian depan berupa selasar terbuka sebagai tempat untuk penerimaan tamu. Kamar tidur terletak pada bagian tengah, di sisi kiri dan kanan, sedang ruang yang terapit difungsikan untuk ruang makan atau perjamuan makan malam. Bagian belakang terbuka untuk minum teh pada sore hari sambil membaca buku dan mendengarkan radio, merangkap sebagai ruang dansa.

Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampu-lampu gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk gedung-gedung perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain agar tampak lebih berwibawa.

Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup yang serbamewah.

Kebudayaan Indis sebagai perpaduan budaya Belanda dan Jawa juga terjalin dalam berbagai aspek misalnya dalam pola tingkah laku, cara berpakaian, sopan santun dalam pergaulan, cara makan, cara berbahasa, penataan ruang, dan gaya hidup. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung.

Mengamati arsitektur Indis hendaknya kita jangan terpaku pada keindahan bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische Spiegel yaitu pencerminan budaya Indis, menyebutkan bahwa sistem pergaulan dan tentunya juga kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indis merupakan jalinan pertukaran norma budaya Jawa dengan Belanda. Manusia Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya.

Pengukuhan kekuasaan kolonial saat itu tertuang dalam kebijakan yang dinamakan “politik etis”. Prinsipnya bertujuan meningkatkan kondisi kehidupan penduduk pribumi. Di lain fihak penguasa juga memperbesar jumlah kedatangan orang Belanda ke Indonesia yang secara langsung membutuhkan sarana tempat tinggal berupa rumah-rumah dinas dan gedung-gedung.

Di sini terlihat jelas bahwa ternyata semua peristiwa yang dialami pada tiap kehidupan manusia bisa memberi dampak yang besar terhadap pandangan arsitektur. Bahwa gagasan arsitektur sesungguhnya juga dipengaruhi oleh situasi dinamika sosial budaya manusia dan sekaligus menjadi bagian dari padanya.

Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya. Perkembangan arsitektur Indis sangat determinan karena didukung oleh peraturan-peraturan dan menjadi keharusan yang harus ditaati oleh para ambtenar, penentu kebijaksanaan. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para penguasa dan priayi.

Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata tetapi juga mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya arsitektur Indis mungkin disebabkan oleh konsekuensi historis yang menyangkut berbagai aspek sosial budaya.

Menurut Denys Lombard, sejarah terbentuknya budaya Indis karena didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang berkehendak menjalankan pemerintahan dengan menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di wilayah kolonialnya. Dengan datangnya perubahan zaman dan hapusnya kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan budaya feodal termasuk perkembangan arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan, bangsa Indonesia menganggap arsitektur Indis sebagai monumen dan simbol budaya priayi yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya tidak perlu diratapi.

Arsitektur Indis mencapai puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring dengan perkembangan kota yang modern, lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan berubah menjadi bangunan-bangunan baru (nieuwe bouwen) yang bergaya art-deco sebagai gaya internasional.

Bang Namin (83) bekas sopir Eykman kontrolir di Batavia berkata sambil menunjuk: “Di sini dulu ada gedung megah namanya “Sositet Harmoni” tempat dansa orang-orang Belanda, sekarang digusur untuk taman. Di sono tuh! di Molenvlit ada hotel mewah Des Indes yang juga digusur untuk pertokoan dan masih banyak lagi gedung-gedung bekas orang-orang Belanda yang megah di Mester Kornelis, Weltevreden, Pejambon, Petojo, dan lain-lain, juga sudah pada digusur.” Sekarang arsitektur gaya Indis hanya tinggal kenangan.

GW........SEDIH BANGET NULIS INI

Kamis, 01 Mei 2008

Demokrasi dan Peran Cendekia

    KALANGAN cendekiawan merupakan kelompok sosial otonom dan independen. Atau tiap kelompok sosial sebenarnya memiliki kalangan cerdik pandai yang khas bagi mereka? Pertanyaan awal yang diajukan Antonio Gramsci (1891-1937) dalam Catatan dari Penjara (Quaderni del Carcere, 12) relevan untuk disimak saat momentum kenaikan harga BBM membawa polemik tentang status dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat demokratis yang selama ini jarang mendapat perhatian.
Peran utama cendekiawan tradisional dalam masyarakat, lanjut Gramsci, guna menghasilkan konsensus. Karena itu, pekerjaan kaum cerdik pandai lebih pada jalur pengembangan masyarakat sipil (civil society), bukan lingkup politik (political society). Namun, ini bukan alasan untuk menyatakan kinerja mereka tidak memiliki muatan politis.
Polemik tentang status cendekiawan yang dipicu tayangan iklan Freedom Institute hanya satu contoh paling transparan guna mempertanyakan kehadiran para intelektual dalam masyarakat kita. Benarkah intelektual dari sono-nya dianugerahi kebebasan dan otonomi dalam menyuarakan pendapatnya sehingga dengan dalih otonomi, kebebasan, dan demokrasi mereka bisa merasa steril dan cuek bebek dengan jeritan massa karena melambungnya harga-harga?
Ponsiuspilatisme
Membongkar otonomi palsu kalangan intelektual merupakan kritik keras Gramsci atas filsafat Benedetto Croce (Q 10). "Apa yang penting bagi Croce adalah bahwa kalangan cendekiawan tidak merendahkan dirinya pada tingkatan massa, sebaliknya supaya mereka memahami bahwa ideologi merupakan perangkat praktis untuk memerintah..."
Bagi Croce, kalangan intelektual yang merendahkan dirinya pada kepentingan massa telah menggadaikan status dan kehormatannya sebagai kalangan cendekiawan. Para cendekiawan seharusnya memerintah, bukan diperintah. Mereka seharusnya membentuk ideologi dengan tujuan untuk memerintah yang lain.
Gramsci melihat, intelektual yang steril dari massa dan lebih mengedepankan kerja ideologis berpotensi melahirkan kekerasan dan mendiseminasi otonomi palsu yang cenderung jauh dari moralitas. "Posisi murni intelektual dapat menjadi Jacobinismo yang lebih buruk, atau suatu ponsiuspilatisme busuk, atau kadang berurutan dari satu posisi ke posisi lain, atau bisa secara simultan keduanya" (Q 10).
Sama seperti Ponsius Pilatus yang membiarkan Yesus disalib oleh keputusan massa, cendekiawan yang berpegang pada posisi "murni intelektual" merasa enggan memikul setiap tanggung jawab dan tidak ingin merendahkan dirinya pada kehendak dan keinginan massa. Pernyataan mereka yang menyatakan diri lepas dari kepentingan politis hanya sebuah posisi; dalam kenyataan, mereka memainkan peran fundamental secara politis sebab dengan bersikap seolah netral mereka telah membuat konsensus politik.
Ponsiuspilatisme yang lihai memainkan peran di panggung media menemukan antagonisnya dalam diri intelektual jalanan yang berusaha menyalurkan dan menjadi aspirasi orang kebanyakan (demos). Namun, cendekiawan jalanan seperti ini tak jarang mendapat kritik keras karena mereka cenderung antiintelektual. Mereka lebih menyukai ritualisme politik kiri, seperti demonstrasi, membuat pernyataan, tuntutan dan sebagainya.
Dalam masyarakat demokratis, kecenderungan antiintelektual akan menjadi racun yang mematikan bagi regenerasi iklim demokrasi yang lebih baik. Di mana pun, demokrasi yang dewasa tak pernah bermula dari jalanan. Demokrasi yang dewasa mengandaikan kedewasaan politik dan kedewasaan politik mengandaikan formasi memadai bagi politisi untuk menyampaikan visi perjuangannya di parlemen.
Tiga makna
Fenomena ponsiuspilatisme dan kehadiran cendekiawan jalanan bisa dibaca dari tiga sudut pandang.
Pertama, pendidikan tinggi kita gagal menanamkan nilai- nilai demokratis dalam diri para cendekiawannya. Di kalangan kampus terjadi semacam pembangkangan dosen atas panggilan intektualnya. Mereka gagal menanamkan semangat humanisme universal dalam diri mahasiswa sehingga menghasilkan cendekiawan yang "murni intelektual".
Kedua, di lain pihak pendidikan tinggi ternyata juga menghasilkan lulusan yang antiintelektual, lebih suka memilih cara-cara jalanan, dengan memasang pamflet, membuat orasi, dan membaur dengan massa di luar kampus untuk menyuarakan kepentingan.
Akar masalah dua hal itu adalah korupsi di kampus. Karena itu, penyehatan kehidupan berbangsa hanya bisa dilakukan dengan membenahi sektor pendidikan berupa perbaikan model pengajaran dan kurikulum yang lebih menekankan akuisisi modal kultural (capital cultural) sehingga memungkinkan lulusan terlibat kehidupan demokrasi yang lebih sehat.
Pendekatan konservatif yang hanya melihat korupsi di kampus, pengkhianatan intelektual atas status sosialnya, dan kecenderungan antiintelektual yang bersemi di kampus sebagai biang keladi tak kunjung berseminya kedewasaan demokrasi menjadi satu kemendesakan untuk memulai pembaharuan di kampus, misalnya, melalui reformasi di bidang kurikulum maupun metode pengajaran.
Ketiga, diagnosis ketidakberesan yang terjadi seputar kinerja kampus hanya akan merupakan tambal sulam yang tidak menyentuh esensi persoalan tanpa memerhatikan analisis relasional antara demokrasi dalam kaitan dengan keberfungsian peranan intelektual.
Analisis terakhir menyatakan, pertama-tama bukan pendidikan tinggi yang telah gagal menciptakan kedewasaan demokrasi bagi para cendekiawan. Sebaliknya, demokrasi gagal menciptakan pendidikan tinggi yang bermutu dengan menyelingkuhi para cendekiawannya sehingga melahirkan intelektual haram yang memiliki semangat ponsiuspilatisme atau sebaliknya melahirkan intelektual jalanan yang cenderung antiintelektual, yang keduanya sama-sama jauh dari klaim "integritas moral intelektual" maupun "keberpihakan rasional pada massa" yang amat dibutuhkan dalam proses konsolidasi demokrasi.
Gejala ponsiuspilatisme secara positif bisa dibaca sebagai tumbuhnya kesadaran pentingnya kekuatan moral kalangan intelektual untuk mengkritisi kebijakan publik dalam kerangka perlindungan hak warga negara dari terabasan petualang politik. Di lain pihak kehadiran intelektual jalanan dalam kacamata gramscian bisa dibaca sebagai suatu usaha diseminasi konsensus bagi perjuangan kontra hegemoni atas kekuasaan yang ada, sekaligus konsolidasi kekuatan subaltern dalam kerangka pertumbuhan demokrasi yang sehat.
Kelompok sosial korban keputusan poltik penguasa kian menyadari, kekuasaan permanen dan kebenaran universal yang menjadi basis kekuatan hegemoni kelompok penguasa telah kehilangan otoritasnya. Setiap kelas sosial dan kelompok masyarakat lain berhak memiliki konsepsi berbeda tentang keteraturan sosial yang menjadi suara hati, pikiran dan gagasan mereka.
Konsolidasi perjuangan kelas subaltern kian nyata saat mereka akhirnya berhasil melahirkan intelektualnya sendiri. "Ke-lain-an" (otherness) yang terlahir dari kelompok subaltern miliki hak untuk didengarkan jika kita mengaku diri sebagai demokratis.
Pendidikan dasar
Jika demokrasi gagal menciptakan iklim akademis yang melahirkan cendekiawan berintegritas, konsolidasi demokrasi sendiri hanya bisa tumbuh lewat kesadaran kritis yang muncul lewat kekokohan formasi pendidikan yang terbuka bagi semua warga yang memungkinkan sipil memiliki kekuatan mengontrol kekuasaan. Langkah awal formasi ini adalah dijaminnya pendidikan dasar bagi semua. Di sini yang dipertaruhkan adalah kualitas dan kontinuitas formasi pendidikan yang mampu menyiapkan anak didik terlibat dalam ranah politik.
Gramsci meyakini, krisis lembaga pendidikan yang terjadi di zamannya terjadi bukan karena kelemahan lembaga pendidikan sendiri dalam mengantisipasi tantangan modern, tetapi karena lembaga pendidikan telah menjadi korban bulan-bulanan krisis sosial, budaya, dan politik di zamannya. Kita ingat bagaimana lembaga pendidikan di Italia, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi benar-benar dimanfaatkan untuk sarana propaganda ideologis perjuangan Fasis Mussolini.
Tidak diragukan, pendidikan umum dan keadaan sekolah di negeri kian memasuki titik kritis yang mengkhawatirkan. Ini terjadi karena ketidakbecusan politisi mengurus lembaga pendidikan. Korupsi terjadi bukan semata-hanya di kampus, tetapi di kalangan parlemen.
Berjuang secara sistematis agar terbuka akses pendidikan dasar bagi semua warga, itulah yang sejak awal digagas kalangan intelektual mengapa mereka mendesak agar subsidi BBM segera dicabut. Sebab hanya dengan realisasi akses pendidikan dasar bagi semua kompensasi BBM menjadi efektif.
Memimpikan kehadiran intelektual yang independen dan otonom di masa sekarang adalah ilusi. Namun, perjuangan membuka akses pendidikan bagi semua warga tak pernah boleh menjadi mimpi jika kita menginginkan perbaikan demokrasi di negeri ini.

ditulis oleh mahasuswa yang akan menghadapi pertarungan dengan dosen

Kamis, 24 April 2008

POP CULUTRE

Lucu juga, mentertawakan diri sendiri
yg sangat inferiority complex..
Pernahkah ketika anda masih SMA pergi
ke Club atau Diskotik?.. saya pernah!
dan bangga banget!
Damn, I Love Indonesia, lebih bebas!

Sapa bilang Amerika negara bebas???
Pernahkan anda melihat (atau merasakan
sendiri) sekelompok anak muda minum
bir?...
wah bukan pemandangan aneh di parkiran
Circle K Bandung! every single store!
Tau Texas?.. Tau! Kota yang ngga boleh
minum alkohol sembarangan kan? mending
di Bandung, atau di Jakarta, mau mabok
sambil nyetir juga boleh!

Pernahkah anda membeli majalah yang
porno, setengah porno -apapun
sebutannya- yang covernya adalah
wanita berbikini dengan headline 7
Trik Liar Di atas Ranjang?
Kupu Kupu Malam Kota Solo dan majalah
yang setiap edisinya tidak pernah
luput dari kata Mr. Happy? ...
Ngga tuh (Boong!! Liat ada apa di
bawah kasur? yang diumpetin di lemari?
Bagasi mobil belakang).. Di mana anda
beli majalah Playboy? atau majalah
sejenis itu?.. sebelum ke kantor di
tukang koran, dan bangga banget punya
playboy karena ngga usah subscribe
kaya di Amerika, aneh padahal negara
USA produsen-nya kok mereka ribet
banget sih, harus liatin ID segala?

di Indonesia di emperan juga ada, di
mana aja yang penting hati bangga!
Siapa yang bangga ada majalah Playboy
Indonesia? Siapa yang bangga dengan
Cosmopolitan Indonesia? .. Ya orang
Indonesia, mereka bangga! Playboy
pertama di Asia Tenggara!! (tapi kok
di Malaysia malah ngga ada, malahan di
Singapore majalah sekelas Cosmopolitan
aja dibredel? mereka bodo banget deh)

Kita seneng deh mengadopsi semua hal
dari luar negeri!
Siapa yang suka nonton plagiatnya
Saturday Night Live?... Gila lucu
banget ya? Lucu mana dengan Indonesia
yang suka niru?

Siapa yang BENCI Amerika???...
KITAAA ORANG INDONESIA BENCI banget
Amerika, makanya kita memilih dan
senengggg banget minum Pepsi, Beli
MC.D, Pake HaPe Motorola, Nonton film
Hollywood, Beli I-Pod, Ngopi di
Starbucks, Nonton Desperate
Housewives, Ikutan Test TOEFL ..

Siapa benci Eropa? dan hal yang
kebarat-baratan? ...
Kita deh sebagai Orang Indonesia,
makanya kita belanja di Mall yang gaya
eropabanget, Belanja baju di Mango,
Makan Steak, Melakukan freesex biar
kaya James Bond dan Matahari (anda
pasti tau dong siapa dia kalau anda
bisa berkomentar tentang RUU
APP) ..

kita juga sebel banget dengan hal yang
kebarat-baratan apalagi eropa, makanya
kita pake handphone Nokia dan mobil
BMW ..

Mau ngga jadi tuan rumah Miss
Universe?... DI INDONESIA??? KAPAN???
SERU BANGET TUH!!!
aduh banyak cewek kece pake bikini.
Udah malem finalnya di Indonesia aja,
daripada di amerika kan udah ditolak,
di Puerto Rico kan kemaren males jadi
tuan rumah, lagian bukannya sekarang
Tuan Rumah Miss Universe sedang
dilempar ke negara miskin dan third
world karena dianggap basi ama
Amerikanya sendiri??

Indonesia sih pasti seneng banget dan
bangga banget jadi buangan tuan rumah
Miss Universe!
Pilih masuk AFI atau jadi juara
Olimpiade Fisika? ... AFI dong,
kondang bo! kalau bisa semua masuk
reality show!

Olimpiade Fisika ngapain? paling
direkrut ama Singapore atau Jerman,
duh pendidikan itu ngga penting di
Indonesia .. yang penting outlook,
mudah membual, nepotisme.. kalau mau
terlihat berpendidikan berlagak sok
pinter aja.. asal lo bisa bual tentang
playboy, RUU APP, meski belum tentu
bener, yang penting ngomong!

Suka Infotainment? ... duuh kita
sebagai orang Indonesia tuh seneng
banget gila kalau ngomongin orang yang
jelek-jeleknya.. Kita selalu haus
dengan terbukanya Aib, daripada kaya
Singapore yang malah bangga dengan
National Geographic? apa gunanya?

Kalau E! chanel suka?.. duh cable
masih jarang sih di Indonesia,di
Pedesaan belom masuk.. jadi kita ngga
tau.. lagian acaranya ngga mutu ya
ngomongin artis dari sisi glamour dan
kreatifnya doang, kurang ngomongin
aib!

Cinta Produk Indonesia?.. duh Soeharto
banget sih jamannya ACI, gih ke
malaysia aja yang produk lokalnya
lebih kepake dari pada Pierre Cardin,
Hugo Boss, Esprit, U2 ..

kita lebih suka negara kita "terjajah"
dan dibanjiri produk asing ..emang
kita Jepang yang produktif? lebih
hebat kita dong, Indonesia yang selalu
konsumtif tanpa jadi produktif, ampe
minyak aja impor .. kita negara
terkaya di dunia!

Bisa menari atau menyanyi khas
Indonesia?..bisa, aku bisa breakdance
dan ngerap pake bahasa Indonesia. Apa
itu Indonesia?.. Jawa minus Jawa Barat
selebihnya negara tetangga,presiden
jawa, menteri jawa, pejabat militer
jawa, yang bukan orang Indonesia ngga
boleh jadi presiden

Jakarta itu apa?.. Ibu Kota, pusat
ekonomi, pusat bisnis, pusat
pemerintahan, pusat indutrsi, pusat
belanja, pusat hiburan, semua terpusat
disini deh, ada Taman Mini Indonesia
juga makanya untuk apa peduli ama
Indonesia yang luas? yang mini-mini
aja dulu ..

Tau fungsi dari New York City,
Washington D.C, Los Angeles
(Hollywood),Nebraska, Texas di
Amerika? ..
aduh maaf pengetahuan kita terbatas,
emang apaan sih? lagian kita tuh benci
banget Amerika meski kita baca Playboy
(dijawab dengan muka malu)

Dimana letak Bali?.. deket Indonesia
Apa arti Bhineka Tunggal Ika? .. biar
beda dipaksa satu! tidak ada perbedaan
yang ada penyatuan, negara hebat kan
bisa mempersatukan yang beda ??

WOW Ada apa di program TV Indonesia
selain beritanya?.. ada acara yang
semua acaranya bisa didapet di TV-TV
lain, pokoknya sejenis semua, ya
Bhineka Tunggal Ika tadi.. kita kan
lebih peduli rating (ssst! jangan
bilang-bilang orang ya, tapi kita
selalu punya pembenaran yang bisa
bikin orang percaya kok)..

makanya orang Indonesia pinter-pinter
kan? bisa menjadi negara yang melesat
padahal ngga punya landasan ..
Siapa sih yang bisa jadi Puteri
Indonesia?.. Itu loh yang bisa bilang
negara Indonesia memiliki
keanekaragaman budaya!
pinter banget kan dia jawab kaya gitu?
dia berpikir keras bahwa cuma
Indonesia yang punya keanekaragaman
budaya.. negara lain emang ada?

eh .. atau si Puteri belum pernah ke
baca buku? dia hobby dandan sih! atau
si Puteri belum pernah ke keluar
negeri ya? nah makanya dia disebut
Puteri Indonesia yang Indonesia banget!



ngb:
wake up guys!!!
cintai negeri sendiri...
n kita bangun terus untuk kehidupan yg lebih baik
jangan asal jiplak dari barat doank!!!!

kita bisa maju
kalau kita sendiri bisa menghargai
ap yg kita punya...
n make it better
hari demi hari...

GW TULIS SAAT GW LAGI BETE MA OUR COUNTRY

Senin, 21 April 2008

PERS MAHASISWA

Pers Mahasiswa merupakan sarana bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide kreatif dalam bentuk tulisan dan melahirkan pikiran segar guna mengaktualisasikan diri dalam merespon permasalahan keumatan. Keberadaan pers kampus dalam realita empiris sangat signifikan untuk mensosialisasi alternatif pemikiran-pemikiran terhadap permasalahan-permasalahan yang tengah berlangsung di tengah mahasiswa maupun masyarakat.

Pers mahasiswa dalam pengertian sederhana adalah pers yang dikelola oleh mahasiswa. Pers mahasiswa pada umumnya dalam fungsi dan persyaratannya yang harus dipenuhi pada dasarnya tidak berbeda. Perbedaan yang lahir adalah karena sifat kemahasiswaannya yang tercermin dalam bidang redaksional dan kepengurusannya. Sifat kemahasiswaan ini lahir karena ia merupakan sekelompok pemuda yang mendapat pendidikan di perguruan tinggi.

Pada dasarnya fungsi pers mahasiswa sama seperti fungsi pers umum, yaitu sebagai sarana pendidikan, hiburan, informasi dan kontrol sosial. Posisi mahasiswa sebagai artikulator antara pemerintah dan masyarakat, menjadikan ia sebagai sumber informasi yang sangat berpengaruh dalam negara yang berkembang.

Pers Kampus atau Pers Mahasiswa harus peka terhadap perubahan kondisi sosial politik yang terjadi di tanah air sekarang ini. Sebelum reformasi, pers mahasiswa dapat tampil sebagai media alternatif. Saat itu pers mahasiswa masih dapat menyajikan berita atau tulisan yang pedas, keras, dan kental dengan idealismenya.

Sayangnya, meski kini sudah ada di era reformasi, industri pers umum Indonesia belum bisa membangun suatu kultur jurnalisme yang baik dan kode etik yang baik. Dibandingkan dengan pers umum, pers kampus akan lebih mudah dalam mengakomodasi nilai-nilai idealis yang sebagian di antaranya tertuang dalam kode etik wartawan Indonesia. Namun demikian, bukan berati bahwa pers kampus bebas dari intervensi. Ada kalanya, pers kampus mendapat intervensi dari pihak rektorat atau pun pihak lainnya.

Intervensi yang demikian amat sulit dihindari karena pengelolaan pers kampus berada dalam lingkungan kampus di mana penghuninya bukan mahasiswa saja. Apalagi, selama ini, pembiayaan pers kampus juga mendapat donasi dari pihak rektorat.

Masalah keterbatasan dana bukan menjadi penyebab tunggal kurang berkembangnya pers kampus di negara ini. Masalah manajemen juga menjadi faktor penting kemandegan. Tidak heran apabila disebutkan bahwa pers adalah pilar keempat dari demokrasi. Jadi beralasan pula, jika kita mengatakan bahwa yang diturunkan oleh pers kampus bukan berita tetapi sikap demokratis.

MEDIA PERGERAKAN

Pergerakan mahasiswa tidak bisa dipungkiri, telah melibatkan pers kampus di dalamnya. Sebab, sebagai wadah aspirasi mahasiswa, pers kampus merupakan perwujudan dari sikap mahasiswa yang ingin menata sebuah sitem dinamis, dan bebas dari bentuk interfensi apapun. Setiap pergerakan mahasiswa mempunyai jalur dan bentuk yang berbeda. Sebuah forum pergerakan mahasiswa tentunya menjadikan ajang demonstrasi sebagai media untuk melakukan pergerakannya. Namun, pers kampus mempunyai jalur dan bentuk tersendiri, bukan melalui demonstrasi lapangan, tapi pemberitaan dan penelusuran .

Meski sering disebut bermain di balik layar dari sebuah pergerakan mahasiswa, namun kerja pers kampus sama beratnya dengan pergerakan dan aksi lapangan semacam demonstrasi. Apalagi, dengan tuntutan harus menyampaikan informasi sejernih dan seakurat mungkin, pers kampus harus peka dan lebih berani daripada semua elemen pergerakan mahasiswa umumnya. Seperti kata pepatah, mata pena lebih tajam dari mata pedang, mungkin itulah yang menjadi kelebihan pers kampus.

Pers Mahasiswa, apapun bentuk dan formatnya, hadir dengan muatan nilai‑nilai dan ciri khas tertentu terentu. Pada masa pra kemerdekaan, berkala semacam "Jong Java", "Ganeca", "Indonesia Merdeka", "Soeara Indonesia Moeda", "Oesaha Pemoeda", ataupun "Jaar Boek", lahir dengan semangat kental untuk menjadi alat penyebaran ide-ide pembaharuan clan perjuangan akan arti penting kemerdekaan. Demikian haInya dengan pers mahasiswa yang lahir pada masa paska kemerdekaan.

Menurut telaah Siregar (1983), pers mahasiswa di jaman demokrasi liberal (1945­1959) ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa atau kita kenal dengan sebutan nation building. Sedang pada masa demokrasi terpimpin (1959‑1965/66) keberadaan pers mahasiswa sarat dengan pergolakan ideologi politik diantara para pelakunya.

Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1974, pers mahasiswa hidup di luar lingkungan kampus. Artinya, kehidupan mereka benar‑benar tergantung pada kemampuan mereka untuk dibeli oleh masyarakat di luar kampus. Periode 1980‑an, pers mahasiswa berada di kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang terbit di luar kampus menjadi pers umum. Sedang pers mahasiswa yang berada di kampus diberi bantuan secara finansial oleh universitas untuk mendukung kehidupannya. Pers mahasiswa pun mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu, visi mereka pun mulai mengalami perubahan.

Tidak dapat disangkal, perjuangan pers kampus pada masa itu menuai sejumlah pujian dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, sejumlah media ternama di luar negeri pun menggunakan pers kampus sebagai narasumber berita. Salah satunya yaitu mingguan Time edisi 30 Maret 1998 menyebut Pers Kampus sebagai salah satu "pendukung yang tak terduga".
Di bawah judul "Behind the Scenes" mingguan itu pernah menulis, kini kampus-kampus di Indonesia sudah saling terhubung melalui Internet, yang praktis tidak mudah dikendalikan oleh penguasa. Dengan mudah dan cepat segala macam informasi bisa disebarkan atau di-share bersama-sama. Jaringan informasi, yang dibentuk oleh pers mahasiswa itulah yang merupakan "pendukung tak terduga" dari aksi-aksi unjuk rasa di berbagai kampus Nusantara.

Pers Kampus seperti harian Bergerak! dari Universitas Indonesia (UI) Depok, juga sempat menjadi sasaran nara sumber bagi pers manca Negara. Hal ini pun kemudian terjadi pada beberapa Pers Kampus yang terkenal vokal menyuarakan fakta pergerakan yang terjadi seperti Teknokra (Unila), Ganesha (ITB), Manunggal (Universitas Diponegoro), Balairung dan Gugat (UGM), Suara Airlangga (Unair) dan Arrisalah (IAIN Sunan Ampel), sampai Identitas (Universitas Hasanuddin Ujungpandang) - dengan pendahulu mereka yang besar seperti Harian KAMI (Jakarta) atau Mahasiswa Indonesia Edisi Jawa Barat (Bandung).

Bagi Mahasiswa Universitas Sendiri sejak 10 Maret 1998 kampus UI di Depok, Jawa Barat, 'hanya' memiliki Majalah Berita Mahasiswa Suara Mahasiswa Universitas Indonesia. Terbitnya dua bulan sekali, 66 halaman, kertasnya bagus, punya izin terbit dari SK Rektor, pengurusnya OK - Pelindung: Rektor, Penasihat: Purek III, dan Penanggung jawab: Ketua Senat Mahasiswa -, punya nomor rekening di Lippo Bank, dan isinya cukup beragam: dari serius sampai santai. Namun, ketika banyak aksi mahasiswa marak menjelang Sidang Umum MPR, Suara Mahasiswa tampak sulit berbuat sesuatu. Terjadinya gap informasi antara mereka yang aktif dalam aksi-aksi mahasiswa dan mereka yang tidak. Bersama para alumni pers kampus, redaksi mulai mendiskusikan bentuk media baru guna menginformasikan dan menyebarkan kesadaran politik di kalangan mahasiswa. Muncullah gagasan menerbitkan sebuah harian sederhana, sebagai "tukang pos" penyadaran. Tanggal 10 Maret 1998 akhirnya terbit edisi perdana harian Bergerak!. Terbit Senin sampai dengan Jumat dengan empat halaman dan masih gratis. Pers mahasiswa, menjadi apa yang oleh Nugroho Notosusanto disebut sebagai community press sebagaimana hidup di negara‑negara yang sudah maju. Pers mahasiswa hanya untuk melayani komunitas mereka saja, yaitu dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Fungsi mahasiswa sebagai pelaksana aksi sosio‑kebudayaan ataupun perjuangan politik sebagaimana telah dilakukan oleh para aktivis "Mahasiswa Indonesia" (dalam Raillon,1989) kini hanya tinggal mitos belaka. Betulkah demikian halnya? Bagaimana dengan pers mahasiswa di masa reformasi sekarang ini?

Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan­-harapan idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai koruptif, kolutif, maupun nepotif.Dalam proses reformatif ini, harus diakui peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui "Bergerak", Yogyakarta melalui, "Gugat" ataupun kota‑kota besar lainnya mengadakan liputan jurnalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet

Kehidupan pers mahasiswa dewasa ini memang tidak jauh dari visi jurnalistik. Para pengelola pers mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan hal‑hal yang berhubungan aspek jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat semangat profesionalisme merupakan satu nilai dominan di masa depan. Aktif di lembaga semacam pers mahasiswa merupakan satu peluang penting untuk mempelajari satu profesi tertentu yaitu dunia kewartawanan pada khususnya dan dunia tulis‑menulis pada umumnya. Apapun latar belakang pendidikan para pengelola pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti, mereka telah mempunyai satu profesi tertentu untuk digeluti lebih lanjut. Terlebih sekarang ini telah terjadi booming media massa, baik cetak ataupun elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi mereka yang berkiprah di lembaga pers mahasiswa.

IDEALISME DAN IDEOLOGI PERS KAMPUS

Pers kampus, sebagai bentuk organisasi mandiri idealnya harus lembaga yang mampu memberikan informasi yang jernih dan akurat. Tanpa ada manipulasi sedikit pun, sekaligus menghapus bayang-bayang kediktatoran penguasa yang selama ini mengintervensi segala bentuk kekritisan. Baik di dalam tataran universitas maupun di lingkungan masyarakat luas umumnya.

Permasalahan signifikan yang dihadapi pers kampus dalam perjuangannya, tidak bisa dipungkiri masalah modal dan ruang. Adanya modal, akan tercipta ruang untuk berkreasi. Modal adalah unsur sentral di dalam perjalanan sebuah media penerbitan, di manapun. Modal berkaitan dengan uang (money), dan uang adalah suatu bentuk kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri, uang telah menjadi titik penentu sebuah kekuasaan dewasa ini, dibuktikan dengan sebuah realita di masyarakat yang menjadikan uang sebagai jangkar untuk menyambung kehidupan.
Pers kampus harus membakar lidahnya sendiri ketika pemodal (rektorat) membatasi kinerja. Demi kelangsungan hidupnya sebuah pers kampus banyak yang menodai ideologinya sendiri, sangat disayangkan. Tidak ada uang, maka ruang pun terancam.

Sebagai organisasi yang bisa dikatakan independen, modal utama sebenarnya bukan uang semata, tapi sebuah pemikiran yang logis dan kritis, kerja keras menuju sebuah perubahan ke depan. Sebuah pergerakan yang dinamis dan keinginan yang kuat, itulah modal utama yang sebenarnya. Dan dari situ pers kampus dapat mengembangkan dirinya sesuai kreativitasnya, untuk keluar dari bayang-bayang penguasa kampus.

Masuk ke dalam dunia bisnis media, adalah salah satu jalannya, jelasnya dengan memperbanyak iklan dan sponsor. Namun, permasalahan utamanya akan kehilangan identitas dan jati dirinya sebagai pers mahasiswa menjadi pers komersial. Ini umumnya yang selalu menjadi pertimbangan dari kawan-kawan pers kampus, yang ingin mencoba terjun ke dunia bisnis media.

Sekali terjebak dalam dunia bisnis, ideologi akan dipertaruhkan. Ideologi yang menekankan, pers kampus adalah sebuah media mahasiswa alternatif dan pergerakan yang menjauhkan diri dari segala bentuk interpensi, terutama pihak pemodal dan kaum kapitalis. Solusinya, sebagian tidak bisa menutup diri terhadap dunia bisnis. Namun penetapan batasan yang jelas menjadi kuncinya, selama tidak mengubah dan merusak tatanan dalam pers kampus itu sendiri. Kekuatan pers ini hanyalah loyalitas dan dedikasi pengelolanya saja. Biaya yang kita keluarkan ibarat, biaya hidup sehari-hari saat kuliah saja. Namun untuk urusan keberanian, dengan tutup mata pun dapat didalilkan, pers umum kalah dibanding pers mahasiswa. Lebih-lebih di zaman reformasi seperti ini. Tak peduli amburadul-nya manajemen, tata tulis, logika pikir, atau argumentasi, namun statement paling lugas dan vulgar tentang fakta politik nasional - yang seandainya dipampang di pers umum pasti langsung kena bredel - bisa dengan enteng muncul di pers mahasiswa.

Sulit untuk tidak mengatakan pers mahasiswa tidak signifikan. Mustahil pula untuk mengesampingkan peran pers mahasiswa dalam proses berkembangnya aksi-aksi mahasiswa akhir-akhir ini. Dalam kondisi seperti itu daya hidup pers mahasiswa kemudian justru terpelihara karena keunikan posisinya. Mereka antara tergantung dan tidak tergantung. Jika ada dana fakultas atau jurusan mereka tergantung. Tapi disebut tergantung sama sekalipun tidak. Buktinya, jika dananya kurang, para pengelolanya akan melakukan apa saja, termasuk mencari utang. Kalau perlu sebagian dana kos yang diperoleh dari orangtua, atau sisa penghasilan dari penyelenggaraan seminar yang mereka selenggarakan, dialihkan untuk biaya penerbitan.

Minggu, 20 April 2008

DANGDUT, MUSIC OF MY COUNTRY

Sekarang ini marak adanya pencekalan yang berlabel dangdut. Pencekalan tersebut pada dasarnya lebih kepada gaya menari atau goyang dangdut, bukan perorangan dari para penyanyi dangdut. Tidak dapat dipungkiri, banyak artis Indonesia yang beralih profesi menjadi penyanyi dangdut dadakan, mereka lebih cenderung untuk mencari lahan bisnis baru yang dianggap menguntungkan jika dibandingkan pekerjaannya semula, seperti sebagi model maupun bintang film.

Kasus yang dapat diambil adalah kasus Dewi persik dan baru-baru ini Julia Perez. Mereka mendapat pencekalan untuk mendendangkan suaranya dibeberapa daerah seperti banten. Kerancuan akan nampak pada proses pencekalan tersebut, selama ini belum ada uu yang mengatur secara spesifik tentang pencekalan baik untuk individu maupun oraganisasi. Hal ini akan berdampak pada legaitas hukum yang bermain didalamya. Masyarakat menganggap hukum di negara kita masih rancu dan perlu pembenahan secara strukturra dimulai dai bawah kemudainm naik keatas, teori down to up.

Tidak dapat dipungkiri, meskipun pencekalan tersebut masih cacat hukum, atau masih dilakukan secara norma, namun patut dajadikan panutan bagi daerah-daerah lain. Musik merupakan sarana untuk mendapatkan hiburan, apalagi dangdut yang notabennya musik rakyat. Dengan musik dangdut masyarakat dapat merasakan secara sederhana hiburan buat mereka. Disini perlu penalaran lebih atau pembelajaran lebih pada para penyanyi dangdut khususnya penyanyi wanita, agar tetap menjaga norma-norma kesopanan yang ada dimasyarakat. dengan begitu akan tercipata nuansa hiburan yang sesaui dengan nrma masyarakat, tidak seperti yang terjadi salama ini. pEngeksploitasian tubuh para penyanyi menjadi makanan sehari-hari masyarakat kita. Mereka dengan tidak segan-segan lagi memperlihatkan semua lekuk tubuhnya tanpa memperdulikan etika .

Masyarakat pun memiliki andil dalam melanggengkan proses degradasi moral, merewka cenderung senang untuk menikmati pertunjukan-pertunjukan yang berbau pornografi. Pemerintah sebagi alat pengatur negara harusnya turut menjaga ketertiban ini, tidak memikirkan mencari kekayaan saja dengan mengabaikan kepentingan rakyat.

Kamis, 17 April 2008

relokasi Pasar???????

ADA yang berpendapat kalau tidak semrawut, longgar, dan tampak bersih, namanya itu bukan pasar tapi mal. Bahkan mal saja banyak yang semrawut dan kotor, apalagi seperti Pasar Klewer di Solo ataupun pasar tradisional lain. Kesemrawutan, suk-sukan, dan kekumuhan menjadi bagian tak terpisahkan dari pasar pada umumnya.

Mengapa semua pasar terkesan seperti itu? Jawabnya, pedagang ikut andil menciptakan kondisi kesemrawutan. Memang pedagang akan protes dengan anggapan seperti itu. Tidak semua pedagang apriori terhadap lingkungannya. Masih ada pedagang yang peduli dan tertib dalam menjalankan usaha, mau menata diri, dan berperan menciptakan suasana kondusif.

Kesadaran untuk ikut menciptakan seperti itu, memang dibutuhkan dari pedagang. Dengan ikut menciptakan rasa nyaman, bersih, dan aman, selain merupakan bentuk pelayanan kepada pembeli, sekaligus bentuk promosi. Dengan suasana kondusif, pembeli akan kerasan berlama-lama di pasar dan ingin kembali lagi untuk berbelanja.

Kesadaran seperti itu juga perlu saat di lahan parkir. Berapa banyak mobil pedagang yang seharian mangkal di lokasi parkir? Kalau kendaraan pedagang di parkir di tempat lain yang lebih luas, misalnya di kawasan Beteng Plaza yang masih luas, lahan parkir kawasan pasar agak longgar. Apakah kepedulian seperti itu sudah ada dan muncul dari para pedagang, hanya mereka yang tahu.

Alternatif relokasi pasar untuk menjaga agar kondisinya tidak lebih buruk lagi. Untuk mengurangi supaya menjadi lebih baik, agaknya cukup sulit. Apalagi semua elemen masyarakat yang terkait tidak berupaya menertibkan diri sendiri, ditambah kondisi pemerintah yang berwenang dalam penataan pasar terkesan belum bekerja secara maksimal.

Relokasi pasar yang bagaimana dan seperti apa yang cocok untuk mengatasai berbagi persoalan tersebut. Menurut apa yang tlah aku pelajari, mengutip sedikit pendapat Roman Hall, salalh seorang arsitek dari Italia, dia menyebutkan bahwa Relokasi pasar yang baik dilakukan adalah disaat semua tata kota telah berajalan, jadi menurutnnya sebuah bentuk relokasi apapun itu sebelum tata kota telah tertata dengan baik tidak akan berhasil. Setuju jika memang diutarakan demikian, apalagi jika kita melihat tata kota di wilayah Indonesia khususnya Solo belum terlaksamna secara terkonsep.Tidak hanya itu, peran serta yang aktif dan penuh tanggung jawab dari pihak pedagang, masyarakat maupun pemerintah akan sangat membantu dalam terciptanya iklim yang kondusif dipasar.

Jangan dilupakan juga, pasar merupakan tempat dari berbagi elemen yang berinteraksi didalamnya. Dari hal Budaya sampai yang berbau politik ikut nimbrung. Hal-hal kecil seperti komunikasi antar pedagang maupaun pedagang dengan pembeli sampai terciptanya sebuah kerukunan masyarakat menjadi fungsi lain dari pasar. Pasar bukan hany sebagai sebuah transaksi jual beli, namun lebih difungsikan sebagi tempat berinteraksi masyrakat dan salah satu tempat untuk menyelamatkan budaya yang mulai luntur dimasyarakat. Jadi jangan sampai peran pasar apalagi pasar trdisional tergantikan dengan peran Mall yang cenderung membuat masyarakat bersifat hedonis dan konsumtif.

Mblink...............


Selasa, 15 April 2008

YANG KUTUNGGU

lelah kuberjalan menelusuri hari
menunggu sesuatu tuk melupakanmu
wajah-wajah telah datang dan telah pergi
tetap kusendiri dan merindukanmu
ku ingin mengerti mengapa rasa itu bisa berhenti
yang aku tunggu masih kucari
yang aku tunggu tuk hilangkan rasa sepi
kan aku tunggu datangnya hari
yang aku tunggu saatnya jatuh cinta lagi
kulihat wajahmu dibayang embun pagi
kudengar suaramu dihembus sang bayu
mungkinkah kembali hati yang telah pergi
benarkah kembali bunga yang tlah layu
kan kucoba mengerti
bahwa rasa itu bisa berganti
yang aku tunggu masih percaya
yang aku tunggu rasa itu pasti kan tiba
jangan lepas lagi jangan sampai hilang
nanti pasti kan datang